Hukum utama dan yang terutama adalah hukum cinta kasih.
Begitulah ajaran Yesus dari Nazareth yang kita pelajari dalam Alkitab.
Asumsinya, kita akan menjadi benar-benar pengikut Yesus yang baik, hanya jika
kita mengimplementasikan hukum cinta kasih itu.
Ada jutaan link yang membahas enty kata ‘kasih’ atau ‘cinta’
atau ‘cinta kasih’ melalui mesin pencari kata di internet, seperti google. Ada
ribuan buku, puisi, syair, kidung, madah, dan karya-karya manusia lainnya
dengan tema ‘cinta’, ‘kasih’ dan ‘cinta kasih’.
Sesaat saya pikir, betapa luar biasanya manusia dalam memahami cinta,
memahami kasih atau cinta kasih itu. Terkesan, manusia sudah sangat akrab
dengan cinta, kasih, dan cinta kasih. Tapi, bilamana kita baca koran, majalah,
radio, televisi, mengapa begitu banyak kekerasan, pertengkaran, perkelahian,
pembunuhan, pemerkosaan?
Sebagai anak Papua, begitulah saya renungkan, betapa di
tanah airku, cinta kasih telah lebih bersifat verbalistik: mudah diucapkan,
didiskusikan, dinyanyikan, dibukukan, dikotbahkan, tetapi kenyataannya justru
berseberangan.
Setiap hari, ada saja kekejaman militer Indonesia pada
rakyat sipil Papua. Ada saja diantara anak bangsa Papua yang ditembak mati
militer. Ada pelarangan demo damai KNPB, ada penyiksaan, penghilangan nyawa
manusia, ada penangkapan sewenang-wenang tanpa pengadila, macam-macam.
Seakan-akan tanah airku adalah neraka kedua di bumi.
Ingatlah saya akan isi Alkitab. Seorang ahli Taurat bertanya
kepada Yesus, hukum mana yang terbesar dari semua ajaran itu. Lalu Yesus
membalasnya, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan sengan segenal akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan
yang bertaa. Dan hukum kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri.” Bacalah Matius 22:34-40.
Sekali lagi, cinta kasih adalah hukum utama yang
diperkenalkan Yesus kepada kita. Disanalah sumber kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran,
kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri.
Persoalan kita saat ini adalah, mewujudnyatakan cinta kasih
itu dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah pertanyaan sederhana: Sudahkan kita
mencintai sesama kita seperti kita mencintai diri kita sendiri?
Itu tamparan
Yesus pada setiap kita. Lebih-lebih bagi kita anak bangsa Papua dalam situasi
dan kondisi bangsa kita saat ini. “Sudahkah kita mencintai suku Amungme-Kamoro yang dirugikan Freeport
Indonesia seperti kita mencintai diri kita sendiri?”; “Sudahkah kita mencintai 4 remaja Paniai yang ditembak mati
militer Indonesia itu seperti kita mencintai diri kita sendiri?”
Untuk menjawabnya, kita perlu menjawab pertanyaan, bagaimana
mengkongkretkan hukum cinta kasih di atas.
Mari membaca Injil Matius 5: 13-20. Tuhan Yesus mengharapkan
setiap kita anak bangsa Papua untuk menjadi garam dan terang dunia. Bila kita
mencintai Tuhan Allah, kita akan mencintai gambar dan rupanya dalam diri sesama
kita. Bila kita mencintai sesama kita seperti mencintai diri kita sendiri, maka
kita akan sangat peduli pada sesama kita. Itulah salib kita, seperti pesan Yesus: barangsiapa ingin mengikuti aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, lalu mengikuti Aku.
Bagaimana memikul salib kita dengan menjadi garam dan terang bagi sesama sebangsa dan
setanah air Papua?
Suarakan suara-suara mereka yang tak sanggup bersuara.
Perangi, terlibat aktif dalam memerangi para aktor penyebab derita. Berusahalah
dan berdayaupayalah untuk menciptakan
tatanan hidup bangsa Papua yang tanpa penjajahan, derita dan ratap lagi.
Hanya dengan begitu, kita akan menjadi benar-benar pengikut
Yesus dari Nazaret yang sejati!
Penulis: Sani
Anggota FKPMKP DIY
Tidak ada komentar :
Posting Komentar